Selasa, 31 Januari 2012

Kabut di Dusun Hujan

Matahari kian menampakkan silauannya di pagi ini. Mengintip dari balik kumpulan awan. Jalan-jalan pagi ini cukup menyenangkan. Sambutan sebuah pohon petai besar menarik perhatian saya. Ya, mungkin hanya sebuah pohon petai besar. Namun, petai tersebut di selimuti oleh kabut pagi yang turun dan jatuh di pucuk rimbunya daun petai tersebut. Sebuah hayalan, saya benar-benar berada di bawah negeri di atas awan. Ingin rasanya naik ke puncak pohon dan berandai bahwa saya mampu terbang dan berjalan di atas awan.
Perkenalkan, tadi hanyalah sambutan kecil dari dusun kecil di pegunungan. Dusun Ngemplak, desa Sukorejo kabupaten Kendal Jawa Tengah. Desaku yang jauh dari perkotaan. Jarak dari kota Kendal sekitar 1 jam. Ditempuh dengan susah payah melewati kelokan tajam jalan beraspal, tebing yang tak kalah eksis di bahu jalan, jurang hingga jembatan yang dibawahnya mengalir sungai deras. Namun, perjalanan di desaku akan terbayar dengan kebaikan yang alam sajikan. Di balik jurang terdapat ribuan hektar sawah yang menghijau. Nampak sejuk dipandang. Tak kalah, rerimbunan pohon jati yang tumbuh besar melindungi dari terik matahari selama perjalanan. Di malam hari, tak kalah mengagumkan. Suguhan gemerlap lampu kota Semarang dapat dinikmati melalui jalan pegunungan yang tinggi itu. Menyihir mata dan melupakan segenap tentang kegelapan hutan rimba.
Selamat datang di dusun ku, kata yang akan saya ucapkan pada kawan dan kerabat yang mampir di tempat tinggal saya. Sebuah hunian kecil yang ikut meramaikan dusun saya. Sedikit cerita, saya adalah seorang mahasiswa semester 4 yang berkuliah di Politeknik Negeri Semarang. Saya senang mengajak teman-teman saya berkunjung ke kediaman saya di dusun. Banyak kenangan terangkai di dusun ku. Dusun yang masih sejuk dengan hijaunya sawah di musim tanam, hangatnya kekerabatan yang terjalin, hingga gemuruh angin yang terus berhembus dibalik rimbunnya bambu.
Teringat sebuah kisah cinta di dusun ku. Teman-teman saya berkunjung ke rumah. Mereka saya bawa ke sebuah sungai yang berada di antara persawahan. Kami bermain dengan begitu asik. Tak disangka, seorang teman saya (laki-laki) “menembak” teman yang lain (perempuan) tersebut. Dengan sipu malu, sang perempuan menerima cintanya. Hujan rintik pun turun. Menambah romantis dan sorak sorai suasana saat itu. Sebuah kenangan yang terukir bersama teman-teman.
Di belakang rumah, terdapat sepetak kebun. Pohon durian, sirsak, mangga, hingga palawija ikut meramaikan suasana. Sesekali muncul seekor bahkan sekawanan tupai kecil mencari makanan. Memanjat dari satu pohon ke pohon lain. Burung-burung kecil juga ikut memecah suasana yang hening.
Cuaca kini semakin dingin, ditambah hujan yang terus mengguyur dusunku. Setia pagi, hanya matahari yang tersipu malu nampak dari balik celah awan. Semakin siang, guyuran hujan mulai membasahi seantero dusunku. Namun tak kan pernah kusesali terlahir dari sebuah dusun kecil ini. Dusun yang membesarkanku, dusun yang memberiku banyak kenangan dengan orang-orang yang kusayangi, dusun yang senantiasa ada untuk ku diami.
Tak hanya kaya akan alamnya, daerah ku juga kaya akan kuliner tradisional. Nasi jagung dengan peyek teri, gethuk cothot dan aneka getuk lainnya. Kriuknya renggenek pun tak mau ketinggalan menambah kekayaan daerahku.
Dusunku bukanlah dusun tertinggal. Meski terletak di pucuk gunung, hampir semua barang yang dibutuhkan dapat ditemukan, dusun ku terletak tak jauh dari kota kecamatan. Tempat dimana telah berdiri banyak pertokoan, minimarket dan banyak kendaraan yang berlalu lalang.
Semoga kisah ku ini tak kan tergerus oleh jaman yang semakin modern ini. Semoga kemajuan disegala bidang tak meruntuhkan sejuknya dusunku. Dusun yang sangat aku banggakan. (D.A.A)